Kemajemukan

Roger Cummiskey – James Joyce The Pluralist Paris (2013)

Kemajemukan atau pluralisme telah menjadi kosakata baku dalam kehidupan politik modern. Konsep ini kerap dilekatkan sebagai bagian tak terpisahkan dari demokrasi. Kemajemukan telah menjadi gramatika dalam demokrasi, artinya kata demokrasi tidak bisa diucapkan tanpa menyertakan kemajemukan di dalamnya.

Anthony Birch mendefinisikan kemajukan dengan merujuk pada definisi demokrasi model Amerika Serikat (AS). Menurut Birch, kemajemukan merupakan salah satu cara dalam demokrasi AS, yang disebut Birch sebagai pluralist way. Menurut Birch, pluralist way adalah “competition between sections and pressure groups” (Birch 2007: 112). Tokoh-tokoh pemikir kemajemukan pertama di AS adalah James Madison dan Alexander Hamilton, yang melalui tulisan-tulisannya melakukan pembelaan terhadap tawaran transisi dari bentuk negara konfederasi yang longgar menjadi bentuk kesatuan federal (federal union). Bagi keduanya, AS harus menata sistem pemerintahan mereka agar dapat meminimalkan kemungkinan pemimpin dari salah satu faksi yang dapat mendominasi lainnya, yang disebut Madison sebagai perampasan hak.

Gagasan kemajemukan berkembang di AS dengan belakang situasi keragaman wilayah yang harus mampu dikelola dengan seksama agar tidak terjadi dominasi antara wilayah yang satu atas wilayah lainnya. Kesimpulan yang diambil Madison dan Hamilton adalah menggabungkan tigabelas negara bagian menjadi sebuah kesatuan federal. Menurutnya hal ini akan membuat faksi-faksi menjadi beragam dan berlipatganda, sehingga meminimalisir potensi munculnya bahaya dominasi oleh satu faksi. Ini dikemukakan Hamilton melalui tulisannya di The Federalist No.51, bahwa: “Society itself will be broken into so many parts, interests, and classes of citizens that the rights of individuals or of the minority will be in little danger from interested combinations of the majority” (Birch 2007: 218).

Dalam pandangan Anthony Birch, kemajemukan Amerika yang sebelumnya didasarkan pada ide pembagian (sectional) dan geografis, setelah tahun 1950-an digantikan oleh penekanan pada pentingnya peran kelompok-kelompok penekan (pressure groups) yang terorganisir untuk mengimbangi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Birch menggunakan argumen Earl Latham, bahwa kelompok penekan merupakan “bentuk politik paling dasar”, dan proses politik pada esensinya merupakan perjuangan dari kelompok-kelompok tersebut (Birch 2007: 219). Sebelum munculnya konsep “kelompok penekan”, istilah yang digunakan adalah “kelompok kepentingan” (interest groups) yang dipahami sebagai kelompok yang memiliki fungsi mempertahankan atau memperjuangkan kepentingan material para anggotanya. Namun istilah yang kemudian lebih banyak digunakan oleh para ilmuan politik adalah “kelompok penekan” (Birch 2007: 220).

Dalam melihat kemajemukan, Birch merujuk pada pandangan Robert Dahl. Karya-karya Robert Dahl mengangkat kembali gagasan kemajemukan dalam pemikiran modern ilmu politik di Amerika Serikat. Menurut Robert Dahl, kemajemukan ditampilkan sebagai “a polyarchical system… of checks and balances”. Kemajemukan bukan semata-mata keseimbangan kekuasaan secara sama, melainkan suatu sistem di mana setiap kelompok yang memiliki “legitimasi” memiliki pengaruh atas kebijakan publik, dan tidak ada satu kelompok yang bisa mendominasi sebuah proses politik (Dahl 1956: 137).

Birch memandang kemajemukan di AS muncul sebagai upaya untuk mencegah pemusatan kekuasaan pada mayoritas dan yang tidak dapat dikoreksi. Dalam pandangan pengusung kemajemukan klasik, ancaman terbesar adalah adanya pemusatan kekuasaan mayoritas, sehingga bentuk negara kesatuan federal diharapkan dapat mereduksi potensi tersebut. Ini bisa dilihat dalam dalam pandangan James Madison yang memandang bahwa ukuran dan keragaman dari bentuk federasi akan menjaga hak-hak kaum minoritas dengan membuat sulitnya mayoritas koheren manapun untuk dapat terbentuk (Madison 2003). Sementara, dalam pandangan pengusung gagasan kemajemukan modern, kelompok penekan menjadi faktor kunci untuk mencegah potensi meluasnya wewenang pemerintahan, terutama dalam pembuatan keputusan.

Namun, Birch tidak menjelaskan konsep kemajemukan dalam ranah filsafat politik. Di sini akan dirujuk pada pemikiran Isaiah Berlin. Berlin memberikan sumbangan pemikiran yang sangat penting mengenai kemajemukan dalam filsafat dan pemikiran politik. Sumbangan besar Berlin bagi filsafat politik adalah konsepnya mengenai “value pluralism” atau kemajemukan nilai. Maksudnya, suatu ide mengenai kebaikan manusia bersifat majemuk dan tidak bisa direduksi, dan acapkali tidak saling memiliki kecocokan, dan kadangkala tidak bisa diukur dengan standar yang sama (incommensurable) antara satu dengan lainnya. Dengan kata lain: kebutuhan dasar manusia tidak bisa diseragamkan karena sangat beragam. Inilah dilema pokok dalam kemajemukan: manusia hidup di dunia yang beragam yang mana tidak dimungkinkan untuk mengakomodasi seluruh keutamaan (virtues) dan nilai-nilai (values) manusia kepada satu bentuk kehidupan.

Gagasan value pluralism Berlin harus dipahami sebagai lawan dari apa yang ia sebut sebagai moral monism (monisme moral). Monisme moral adalah pandangan yang melihat bahwa semua pertanyaan-pertanyaan yang bersifat etis mempunyai satu jawaban kebenaran, dan semua jawaban itu terikat pada hanya satu sistem moral yang koheren. Bagi Berlin, monisme merupakan suatu kepercayaan kuno yang mempercayai adanya keharmonisan yang bersifat tunggal dari sejumlah kebenaran, yang jika bersifat asli (genuine) maka pada akhirnya akan saling memiliki kecocokan (Berlin 1998). Bagi Berlin, konsekuensi dari kepercayaan model monisme ini adalah bahwa orang yang mengetahui harus memerintah orang yang tidak mengetahui. Orang-orang yang mengetahui jawaban-jawaban atas berbagai problem kemanusiaan haruslah dipatuhi. Orang-orang itulah yang tahu bagaimana masyarakat harus ditata dan diatur, bagaimana individu harus menjalani kehidupan, dan bagaimana kebudayaan harus dikembangkan (Berlin 1998). Karena itu bagi Berlin tidak ada alasan yang lebih baik yang dapat diterima bagi gagasan yang mendorong bentuk-bentuk despotisme tanpa batas seperti itu menjadi bagian dari elit, yang merampas mayoritas dari berbagai kebebasan yang bersifat esensial.

Menurut Berlin, cara berpikir monisme merupakan dasar atau akar bagi politik otoriterianisme, dan contoh ekstrim dari itu adalah totaliterisme di abad duapuluh. Meski demikian, Berlin berpandangan bahwa tidak semua kaum monis(me) adalah otoriterian. Pandangan Berlin tidaklah menyebut bahwa monisme berkaitan langsung dengan tirani sebagai suatu keniscayaan, namun monisme dapat membawa ke arah otoriterianisme (Berlin 2002: 179). Dilema pokok tersebut harus dapat dikerangkakan dalam gagasan utuh pluralisme. Isaiah Berlin mendefinisikan pluralisme sebagai: “the conception that there are many different ends that men may seek and still be fully rational, fully men, capable of understanding each other and sympathizing and deriving light from each other…” (Berlin 2000: 9).

Karena itu, Berlin menolak argumen bahwa ada satu nilai tunggal, baik itu utilitas, keadilan, kesamaan bahkan kemajemukan, yang bisa digunakan berdasarkan satu urutan, aturan, pengukuran atau penilaian terhadap seluruh nilai-nilai lainnya. Berlawanan dengan itu, Berlin berkomitmen pada yang tidak bisa dinilai dengan satu standar yang sama sebagai sesuatu atau tidak memiliki standar pengukuran yang sama.

Kritik Berlin juga ditujukan pada nasionalisme. Berlin menilai nasionalisme memiliki potensi besar untuk mengabaikan kemajemukan. Dalam hal nasionalisme, Berlin berpandangan,

the sense of belonging to a nation seems to me quite natural and not in itself to be condemned, or even criticized. But in its inflamed condition – my nation is better than yours, I know how the world should be shaped and you must yield because you do not, because you are inferior to me, because my nation is top and yours is far, far below mine and must offer itself as material to mine, which is the only nation entitled to create the best possible world – it is a form of pathological extremism which can lead, and has led, to unimaginable horrors, and is totally incompatible with the kind of pluralism that I have attempted to describe (Berlin 1998).

Nasionalisme seperti itu biasanya juga disebut sebagai nasionalisme sempit, yang dalam hal melihat keluar, memandang bahwa bangsanya yang paling hebat, lebih hebat dari bangsa lain. Cara pandang ini juga yang kemudian menjadi salah satu alasan terjadinya penjajahan dan peperangan di muka bumi. Berlin sampai pada kesimpulan dengan menyatakan: “But I do believe that there is a plurality of values which men can and do seek, and that these values differ. There is not an infinity of them: the number of human values, of values that I can pursue while maintaining my human semblance, my human character, is finite, […] whatever it may be” (Berlin 1998).

Jadi bisa kita tarik pandangan Berlin, bahwa jika ada orang lain yang meyakini suatu nilai, sementara saya tidak, maka saya bisa memahami mengapa orang itu meyakini nilai tersebut, dan di sinilah terbuka kemungkinan dari pemahaman manusia (human understanding). Dalam karyanya Four Essays on Liberty Berlin memahami kemajemukan dengan apa yang disebutnya “kebebasan negatif” (negative liberty), di mana paham kemajemukan yang mengandung “kebebasan negatif” memiliki tujuan-tujuan yang lebih manusiawi dibandingkan suatu sistem struktur yang besar, otoriter dan kaku, yang berusaha membuat satu bentuk ideal bagi rakyat secara keseluruhan (Berlin 1969). Bagi Berlin, paham kemajemukan membuat kita memahami bahwa manusia memiliki keanekaragaman tujuan, di mana satu dengan lainnya belum tentu memiliki titik-temu yang sesuai, dan kerap justru saling bertentangan antara yang satu dengan lainnya. Dalam kemajemukan, manusia memiliki berbagai pilihan atas berbagai keutamaan (virtues) yang sesuai dengan kehendak masing-masing individu atau kelompok, bukan ditentukan secara tunggal oleh suatu cita-cita yang belum tentu diterima oleh semua orang. Penyediaan tempat bagi keberagaman inilah yang membuat manusia menjadi dirinya sendiri.

Kembali pada pandangan Birch, secara umum ia menilai bahwa paham kemajemukan sangat selaras dengan demokrasi, dan tidak selaras dengan totaliterianisme. Namun untuk menjawab apakah sistem demokrasi sudah seharusnya majemuk, jawabannya akan bergantung pada bagaimana kemajemukan didefinisikan. Bagi Birch jelas bahwa tidak semua demokrasi memiliki karakter sectional pluralism dengan dasar geografis sebagaimana dibayangkan Madison dan Hamilton, dengan contoh khusus situasi di Amerika Serikat. Banyak demokrasi di Eropa bukan saja lebih kecil, melainkan juga lebih homogen, dengan sistem yang lebih terpusat. Bagi Birch, amatlah janggal jika karena alasan tersebut maka negara-negara seperti Inggris, Denmrak, Perancis dan Swedia dianggap kurang demokratis dibandingkan dengan AS (Birch 2007: 224). Namun, bagi Birch, jika memahami kemajemukan sebagai kompetisi antar kelompok penekan untuk mempengaruhi kebijakan nasional, maka semua demokrasi modern haruslah memiliki dimensi kemajemukan.

 

Bacaan Rujukan

Berlin, Isaiah, The Proper Study of Mankind: An Anthology of Essays (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2000).

Berlin, Isaiah, “On Pluralism”, dalam New York Review Books, Vol. XLV (8) (1998).

Berlin, Isaiah, Four Essays on Liberty (Oxford: Oxford University Press, 1969).

Birch, Anthony H., The Concepts and Theories of Modern Democracy (London: Routledge, 2007).

Dahl, Robert, A Preface to Democratic Theory (Chicago: The University of Chicago Press, 1956).

Madison, James, “The Federalist No.10”, dalam Robert Dahl, Ian Shapiro dan Jose Antonio Cheibub (Eds), The Democracy Source Book (Cambridge: MIT Press, 2003).

 

Leave a comment